Jika
dulu terdapat istilah “Guru itu digugu lan ditiru (Guru itu diteladani dan diikuti)”,
mungkin saat ini bisa berganti “Guru itu diguyu lan ditinggal turu (Guru itu ditertawakan
dan ditinggal tidur)”
Fenomena
gagal paham mengenai model pembelajaran enjoy learning oleh sebagian
masyarakat, sehingga banyak mengartikan bahwa pendidikan yang baik itu tanpa
adanya kontak fisik, pembentukan karakter percaya diri (confidence) pada siswa
sehingga siswa mampu mengekplorasi potensi dirinya itu penting, namun pembinaan
karakter anak yang memiliki kepribadian, tata krama dalam berbicara, bersikap,
dan bertindak juga tidak kalah penting, karena ini berkaitan dengan akhlaq,
Dari
sinilah mengapa sebabnya kenapa sekolah itu disebut sebagai lembaga Pendidikan
bukan Pengajaran, karena dalam proses belajar mengajar harus terdapat unsur “mendidik”
dan “mengajar”.
Manakala
salah satu unsur tersebut hilang, maka yang terjadi adalah ketimpangan. jika unsur
“pendidikan” hilang, maka yang terjadi anak kurang mampu mengembangkan potensi
dirinya secara keseluruhan, salah satu indicator yang mudah diidentifikasi
ketika proses pembelajaran tidak terdapat unsur pendidikannya, anak kurang
memiliki kepribadian sikap dan tingkah laku yang baik, anak kurang bisa
menghargai dan menghormati yang ada di sekitarnya, apakah kepada gurunya, orang
yang lebih tua, orang tuannya sendiri, orang yang lebih muda, dan lain
sebagainya, Siswa juga kurang memiliki jiwa (baca: mental) yang tangguh,
sehingga seringkali banyak kita temui anak atau remaja saat ini yang kurang
mampu memecahkan permasalahan (problem solver) yang sedang dihadapinya, dimana
pada akhirnya yang Nampak adalah rasa putus asa, bertindak anarkis, dll.
Namun
jika anak dalam proses pembelajaran akademiknya kurang, juga kurang bagus,
karena nantinya hanya mampu dibidang akademiknya saja, padahal nilai akademis
yang ada tersebut belum tentu juga berbanding lurus dengan kapasitas keilmuan
yang dimiliki siswa itu sendiri. Sedangkan hanya dengan keilmuan itulah yang
nantinya menjadi bekal siswa tersebut sampai dewasa, baik itu keilmuan akademis
terlebih non akademis.
Kontak
fisik, apakah itu mencubit, memukul atau yang lainnya, sejauh tujuannya untuk
mendidik bukan untuk menyakiti, dan tidak berdampak fatal secara fisik seperti
berakibat terluka (lecet, lembam,apalagi patah tulang), maka hal itu masih bisa
dikatakan hal wajar, dan bagian dari proses penempaan karakter siswa. Terkecuali jika berdampak luka, itu
baru perlu diklarifikasi lagi proses pembelajarannya.
Jika
dulu terdapat istilah “Guru itu digugu lan ditiru (Guru itu diteladani dan diikuti)”,
mungkin saat ini bisa berganti “Guru itu diguyu lan ditinggal turu (Guru itu ditertawakan
dan ditinggal tidur)” he…..9x
Pergeseran
pemahaman tersebut, juga menjadi tanggungjawab guru, orang tua, dan para
stakeholder yang ada, guru di jaman dahulu sangat disegani, dijadikan panutan,
tauladan, terlebih para guru yang terdapat di pondok pesantren, mereka sangat
dihormati, bukan karena takut, melainkan karena sebagian besar guru pada jaman
dahulu mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang benar–benar bisa dijadikan
tauladan, serta mengedepankan nilai – nilai kepribadian yang luhur, tanpa harus
mengesampingkan nilai–nilai keilmuan akademiknya, guru jaman dahulu bisa
menjadi rujukan pemecahan persoalan sehingga mampu melahirkan hubungan ikatan
emosional antara guru dan siswa, dan meskipun siswa tersebut sudah dewasa dan sukses,
siswa tersebut masih hormat pada gurunya, karena siswa tersebut merasakan telah
mendapatkan banyak ilmu dari gurunya tersebut.
Predikat
Guru pada jaman dahulu bukan hanya berlaku saat jam sekolah, namun tertanam
dalam keseharian bermasyarakat, meskipun secara financial yang diperoleh, tidak
sebanding dengan keilmuan dan perjuangan yang dilakukan oleh guru tersebut
kepada siswa – siswanya, itulah mengapa Guru mendapat sebutan pahlawan tanpa
tanda jasa?.
Meskipun
guru saat ini juga masih ada yang memiliki jiwa pendidik bukan sekedar mengajar
(menyampaikan mata pelajaran) saja, namun tidak sedikit pula Guru saat ini
hanya memiliki karakter sebagai pengajar saja, sehingga dalam memaknai predikat
Guru, hanya sebatas tugas profesi saja, ketika jam mengajar ataupun jam sekolah
selesai maka selesailah tanggungjawabnya sebagai guru, sehingga kurang bahkan
tidak bisa menjadi tauladan bagi siswa dan masyarakat, terlebih lagi manakala,
profesi Guru-nya dipahami hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran, maka tentu
tidak akan mungkin terbangun hubungan emosional antara Guru dengan siswa,
apalagi dengan wali siswa dalam hal ini orang tua, sehingga siswa sendiri
kurang merasakan kehadiran sosok Guru yang bisa menjadi tauladan, panutan,
tumpuan solusi permasalahan, terlebih gempuran budaya yang terjadi saat ini,
nyaris telah mampu meruntuhkan nilai – nilai moral serta mampu mencabut para
generasi muda dari akar budayanya sendiri, yang pada akhirnya bermuara pada
hilangnya rasa hormat siswa pada Guru.
Hal
demikian inilah ketika terjadi suatu dinamika dalam proses pembelajaran, maka
siswa secara spontan mampu bertindak reaktif, Karena tidak adanya rasa hormat
dan segan pada guru, terlebih lagi manakala orang tua siswa kurang mampu menjadi
sosok yang bijaksana, selain bisa merugikan Guru dalam jangka waktu pendek dan
merugikan siswa dalam hal ini anaknya sendiri secara jangka panjang, yakni
penurunan kualitas karakter (degradasi moral).
Fenomena
pelaporan kepada guru oleh siswa dan orang tua siswa melalui jalur hukum, seharusnya
tidak perlu terjadi, alangkah bijaksananya manakala dinamika yang ada
dikomunikasikan yang baik, dengan mendudukan pokok permasalahan yang ada antara
orang tua, guru dan siswa, dengan difasilitasi oleh pihak sekolah.
Alangkah bijaksananya, manakala
seorang guru mengajak komunikasi terlebih dahulu pada siswanya setiap terdapat
permasalahan,
Alangkah bijaksananya, manakala orang
tua, bersilaturahim ke sekolah atau guru yang bersangkutan untuk mengkomunikasikan
dan mencari solusi bersama terntang permasalahan yang terjadi pada anaknya,
Alangkah bermartabatnya sekolah,
manakala memfasilitasi komunikasi guru dengan orang tua siswanya,
Sunguh mulia jika kita mampu mengambil
pelajaran (baca: hikmah) dari setiap fenomena yang ada, bukankah itu bagian
dari ayat tuhan yang tidak tertulis?
0 comments:
Post a Comment