Ebook Agen Tiket Pesawat 486x60

Tuesday, May 17, 2016

Guru, Siswa, Orang Tua dan Sekolah, Pilar Pembentukan Karakter Generasi Bangsa Dimasa Yang Akan Datang



Jika dulu terdapat istilah “Guru itu digugu lan ditiru (Guru itu diteladani dan diikuti)”, mungkin saat ini bisa berganti “Guru itu diguyu lan ditinggal turu (Guru itu ditertawakan dan ditinggal tidur)”


Fenomena gagal paham mengenai model pembelajaran enjoy learning oleh sebagian masyarakat, sehingga banyak mengartikan bahwa pendidikan yang baik itu tanpa adanya kontak fisik, pembentukan karakter percaya diri (confidence) pada siswa sehingga siswa mampu mengekplorasi potensi dirinya itu penting, namun pembinaan karakter anak yang memiliki kepribadian, tata krama dalam berbicara, bersikap, dan bertindak juga tidak kalah penting, karena ini berkaitan dengan akhlaq, 
Dari sinilah mengapa sebabnya kenapa sekolah itu disebut sebagai lembaga Pendidikan bukan Pengajaran, karena dalam proses belajar mengajar harus terdapat unsur “mendidik” dan “mengajar”. 
Manakala salah satu unsur tersebut hilang, maka yang terjadi adalah ketimpangan. jika unsur “pendidikan” hilang, maka yang terjadi anak kurang mampu mengembangkan potensi dirinya secara keseluruhan, salah satu indicator yang mudah diidentifikasi ketika proses pembelajaran tidak terdapat unsur pendidikannya, anak kurang memiliki kepribadian sikap dan tingkah laku yang baik, anak kurang bisa menghargai dan menghormati yang ada di sekitarnya, apakah kepada gurunya, orang yang lebih tua, orang tuannya sendiri, orang yang lebih muda, dan lain sebagainya, Siswa juga kurang memiliki jiwa (baca: mental) yang tangguh, sehingga seringkali banyak kita temui anak atau remaja saat ini yang kurang mampu memecahkan permasalahan (problem solver) yang sedang dihadapinya, dimana pada akhirnya yang Nampak adalah rasa putus asa, bertindak anarkis, dll.
Namun jika anak dalam proses pembelajaran akademiknya kurang, juga kurang bagus, karena nantinya hanya mampu dibidang akademiknya saja, padahal nilai akademis yang ada tersebut belum tentu juga berbanding lurus dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki siswa itu sendiri. Sedangkan hanya dengan keilmuan itulah yang nantinya menjadi bekal siswa tersebut sampai dewasa, baik itu keilmuan akademis terlebih non akademis.
Kontak fisik, apakah itu mencubit, memukul atau yang lainnya, sejauh tujuannya untuk mendidik bukan untuk menyakiti, dan tidak berdampak fatal secara fisik seperti berakibat terluka (lecet, lembam,apalagi patah tulang), maka hal itu masih bisa dikatakan hal wajar, dan bagian dari proses penempaan karakter  siswa. Terkecuali jika berdampak luka, itu baru perlu diklarifikasi lagi proses pembelajarannya.
Jika dulu terdapat istilah “Guru itu digugu lan ditiru (Guru itu diteladani dan diikuti)”, mungkin saat ini bisa berganti “Guru itu diguyu lan ditinggal turu (Guru itu ditertawakan dan ditinggal tidur)” he…..9x
Pergeseran pemahaman tersebut, juga menjadi tanggungjawab guru, orang tua, dan para stakeholder yang ada, guru di jaman dahulu sangat disegani, dijadikan panutan, tauladan, terlebih para guru yang terdapat di pondok pesantren, mereka sangat dihormati, bukan karena takut, melainkan karena sebagian besar guru pada jaman dahulu mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang benar–benar bisa dijadikan tauladan, serta mengedepankan nilai – nilai kepribadian yang luhur, tanpa harus mengesampingkan nilai–nilai keilmuan akademiknya, guru jaman dahulu bisa menjadi rujukan pemecahan persoalan sehingga mampu melahirkan hubungan ikatan emosional antara guru dan siswa, dan meskipun siswa tersebut sudah dewasa dan sukses, siswa tersebut masih hormat pada gurunya, karena siswa tersebut merasakan telah mendapatkan banyak ilmu dari gurunya tersebut.
Predikat Guru pada jaman dahulu bukan hanya berlaku saat jam sekolah, namun tertanam dalam keseharian bermasyarakat, meskipun secara financial yang diperoleh, tidak sebanding dengan keilmuan dan perjuangan yang dilakukan oleh guru tersebut kepada siswa – siswanya, itulah mengapa Guru mendapat sebutan pahlawan tanpa tanda jasa?.
Meskipun guru saat ini juga masih ada yang memiliki jiwa pendidik bukan sekedar mengajar (menyampaikan mata pelajaran) saja, namun tidak sedikit pula Guru saat ini hanya memiliki karakter sebagai pengajar saja, sehingga dalam memaknai predikat Guru, hanya sebatas tugas profesi saja, ketika jam mengajar ataupun jam sekolah selesai maka selesailah tanggungjawabnya sebagai guru, sehingga kurang bahkan tidak bisa menjadi tauladan bagi siswa dan masyarakat, terlebih lagi manakala, profesi Guru-nya dipahami hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran, maka tentu tidak akan mungkin terbangun hubungan emosional antara Guru dengan siswa, apalagi dengan wali siswa dalam hal ini orang tua, sehingga siswa sendiri kurang merasakan kehadiran sosok Guru yang bisa menjadi tauladan, panutan, tumpuan solusi permasalahan, terlebih gempuran budaya yang terjadi saat ini, nyaris telah mampu meruntuhkan nilai – nilai moral serta mampu mencabut para generasi muda dari akar budayanya sendiri, yang pada akhirnya bermuara pada hilangnya rasa hormat siswa pada Guru. 
Hal demikian inilah ketika terjadi suatu dinamika dalam proses pembelajaran, maka siswa secara spontan mampu bertindak reaktif, Karena tidak adanya rasa hormat dan segan pada guru, terlebih lagi manakala orang tua siswa kurang mampu menjadi sosok yang bijaksana, selain bisa merugikan Guru dalam jangka waktu pendek dan merugikan siswa dalam hal ini anaknya sendiri secara jangka panjang, yakni penurunan kualitas karakter (degradasi moral).
Fenomena pelaporan kepada guru oleh siswa dan orang tua siswa melalui jalur hukum, seharusnya tidak perlu terjadi, alangkah bijaksananya manakala dinamika yang ada dikomunikasikan yang baik, dengan mendudukan pokok permasalahan yang ada antara orang tua, guru dan siswa, dengan difasilitasi oleh pihak sekolah.

Alangkah bijaksananya, manakala seorang guru mengajak komunikasi terlebih dahulu pada siswanya setiap terdapat permasalahan,

Alangkah bijaksananya, manakala orang tua, bersilaturahim ke sekolah atau guru yang bersangkutan untuk mengkomunikasikan dan mencari solusi bersama terntang permasalahan yang terjadi pada anaknya,

Alangkah bermartabatnya sekolah, manakala memfasilitasi komunikasi guru dengan orang tua siswanya,

Sunguh mulia jika kita mampu mengambil pelajaran (baca: hikmah) dari setiap fenomena yang ada, bukankah itu bagian dari ayat tuhan yang tidak tertulis?

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com